LANGUAGE,
LEARNING, AND TEACHING
Questions
About Second Language Acquisition
Oleh: Husnul Hamidiyah
1. Filosofi Linguistik dan Bahasa
Bagaimana
kata-kata dapat terhubung dengan dunia??? Ya, dengan bahasa. Segala hal di
dunia diungkapkan dengan bahasa. Bahasa adalah komunikasi yang dapat
menghubungkan antara penutur dan petutur dalam interaksi sosialnya. Cara
penyampaian itu penting. Dimana letak perbedaan antara mengatakan sesuatu
dengan memiliki maksud atau tujuan, dan mengatakan sesuatu tanpa memiliki
maksud atau tujuan? Misalkan frase/ kalimat “3x4” diucapkan oleh guru pada
siswa sekolah dasar, maka para siswa akan serempak menjawab “12”. Namun coba
bandingkan apabila frase/ kalimat “3x4” diucapkan oleh tukang foto di studio
foto, maka aka nada jawabat “Rp. 500,-“ untuk menjawab frase/kalimat tersebut.
Pembelajar
bahasa perlu mengetahui perbedaan antara filsafat bahasa dan filsafat
linguistik. Searle (1997: 3) membedakan kedua unsur bahasa tersebut. Menurutnya
filosofi linguistik adalah usaha untuk memecahkan persoalan rincian filosofis
dengan memperhatikan kebiasaan penggunaan dari kata-kata yang terperinci atau
elemen lainnya dari bahasa yang terperinci seperti fonologi, sintaksis, dan
semantik. Filosofi linguistik nama primer suatu metode sedangkan filosofi
bahasa adalah nama sutu subjek. Filsafat bahasa adalah suatu usaha untuk
deskripsi penerangan secara filosofis gambaran umum tertentu bahasa seperti
referensi, kebenaran, makna, dan kebutuhan.
2. Teori Pemerolehan Bahasa (Language Acquisition
Theory)
Teori
pemerolehan
bahasa berdasarkan psikologi Behaviorisme yaitu:
- Kebiasaan Berbahasa (Language Habit)
- Kesalahan Berbahasa (Language Error) (James, 1986: 20)
Kebiasaan memiliki dua karakteristik utama. Pertama,
kebiasaan itu dapat diamati atau “observable”, bila berupa benda dapat diraba,
dan bila berupa aktivitas dapat dilihat. Kedua, kebiasaan itu bersifat
mekanistis atau otomatis. Kebiasaan itu terjadi secara spontan tanpa disadari
dan sangat sukar dihilangkan kecuali jika lingkungannya berubah. Perubahan itu
mengarah kepada penghilangan stimulus yang membangkitkannya walaupun teori
pembentukan kebiasaan (habit formation) itu bersifat umum, namun aplikasinya
juga digunakan dalam pengajaran bahasa. Di dalam PB 1 (pemerolehan bahasa
pertama), anak-anak memeroleh bahasa ibunya melalui peniruan. Peniruan itu
biasanya diikuti oleh pujian atau perbaikan. Melalui kegiatan itulah anak-anak
mengembangkan pengetahuannya tentang strukur, pola kebiasaan bahasa ibunya.
Melalui peniruan dan penguatan, para peserta didik mengidentifikasi hubungan
antara stimulus dan response yang merupakan kebiasaan dalam berbahasa kedua.
Tarigan menyatakan bahwa kesalahan berbahasa terjadi
karena transfer negative, yaitu perbedaan sistem B1 (bahasa ibu) dan B2
(Bahasa kedua). Kesalahan berbahasa dapat dihilangkan dengan cara menanamkan
kebiasaan ber-B2 melalui latihan, pengulangan, dan penguatan baik berupa hadiah
maupun hukuman (1992:4)
Proses pemerolehan dan penguasaan bahasa anak-anak
merupakan satu perkara yang cukup menakjubkan bagi para peneliti dalam bidang
linguisik. Memang diakui sadar ataupun tidak, sistem-sistem linguistik dikuasai
dengan baik oleh individu anak-anak walaupun umumnya tidak dalam pengajaran
formal. “…learning a first language is something every child does successfully,
in a matter of a few years and without the
need for formal lessons.” (Language Acquisition: On-line).
Kajian saintifik dalam bidang pemerolehan bahasa telah dimulai sejak abad ke-16 (Zulkifly, 1990:326). Kajian
ini diawali oleh
Tiedemann, seorang ahli biologi berkebangsaan Jerman pada tahun 1787.
Charles Darwin, penggagas teori evolusi turut menjalankan
kajian dalam bidang pemerolehan bahasa
pada tahun 1877. Kajian-kajian
yang seterusnya telah dilakukan oleh Preyer pada tahun 1882 dan kajian Sally
pada tahun 1885. Selepas kajian-kajian perintis ini terdapat banyak kajian lain
lagi yang mengkaji bahan-bahan dan subjek-subjek yang berbeda untuk melihat aspek yang terkait pemerolehan sistem-sistem bahasa.
Pemerolehan
bahasa merupakan satu proses perkembangan bahasa manusia. Lazimnya pemerolehan
bahasa pertama dikaitkan dengan
perkembangan bahasa anak-anak
ketika
pemerolehan bahasa kedua bertumpu kepada perkembangan bahasa orang dewasa (Language
Acquisition: On-line). Perkembangan bahasa anak-anak berasal dari
bahasa ibu. Namun terdapat juga pandangan lain yang mengatakan bahawa terdapat
dua proses yang terlibat dalam
pemerolehan bahasa
di kalangan
anak-anak yaitu
pemerolehan bahasa dan
pembelajaran bahasa. Dua faktor utama yang sering dikaitkan dengan pemerolehan
bahasa ialah faktor nurture dan nature.
Piaget mengatakan bahwa semua anak-anak sejak lahir
telah dilengkapi dengan alat nurani yang berbentuk mekanisme umum untuk semua kemampuan manusia termasuk kemampuan berbahasa. Alat
mekanisme kognitif yang bersifat umum inilah yang digunakan untuk menguasai segala bidang termasuk bidang bahasa. Bagi Chomsky
dan Miller,alat yang khusus ini dikenali sebagai Language Acquisition Device (LAD)
yang fungsinya sama seperti yang pernah dikemukakan oleh Lenneberg yang dikenal
sebagai “Innate Prospensity for Language”. LAD dikatakan telah dimiliki oleh
setiap anak secara alami.
Alat
ini akan memungkinkan anak-anak
mampu memperoleh bahasa ibunya
dengan mudah dan cepat.
3.
Pengajaran
Sastra
Pengajaran
sastra di sekolah adalah bagian dari mata pelajaran bahasa. Seorang guru bahasa
juga merupakan guru apresiasi sastra. Penggabungan antara pengajaran sastra dan
bahasa memang wajar dan bisa dimengerti karena bahasa merupakan salah satu
unsur bentuk sastra yang sangat penting. Bahkan secara fisik wujud sastra yaitu
bahasa. Sastra merupakan karya seni yang memediakan bahasa yang unsur-unsur
keindahannya ditonjolkan. Nurgiyantoro menyatakan bahwa memahami karya sastra
merupakan salah satu cara atau langkah dalam usaha mengapresiasi karya sastra,
penguasaan terhadap bahasa yang bersangkutan merupakan suatu hal yang tak dapat
ditawar (2001: 319). Kendati demikian, penguasaan bahasa (konvensi bahasa dan
kode bahasa) saja tidak cukup untuk memahami dengan baik suatu karya sastra,
diperlukan juga pengetahuan tentang kode sastra dan kode budaya.
Tugas
pengajar adalah mengajar, membimbing, dan melatih peserta didik untuk
mengapresiasi sastra dengan bekal penguasaan bahasa demi menunjang penguasaan
kode bahasa yang dibutuhkan dalam pemahaman karya sastra. Sehingga tidak
terjadi kesenjangan antara pokok bahasan kebahasaan di satu pihak dengan pokok
bahasan sastra di pihak lain. Realitanya terdapat benang merah antara
pengajaran bahasa dan sastra yang bersifat saling menunjang. Dalam pemerolehan
bahasa misalnya, ketika seseorang berusaha memahami suatu karya sastra yang
berasal dari bahasa asing. Maka dia terlebih dahulu harus menguasai kode bahasa
dan konvensi bahasa yang dimiliki oleh bahasa asing yang merupakan bahasa
kedua, ketiga, keempat, dst di luar bahasa ibunya. Oleh karena itu penguasaan
bahasa dapat menyeimbangkan kemampuan seseorang dalam mengapresiasi suatu karya
sastra.
4. Pertanyaan tentang Pemerolehan Bahasa (Questions
about 2nd Language Acquisition)
Krashen (dalam Cox, 1996) mengisyaratkan ketika
belajar bahasa kedua peserta
didik
juga harus belajar tentang budaya yang terkait dengan bahasa yang
dipelajarinya. Chaer juga
menuturkan bahwa faktor kebahasaan, kebudayaan, sosial, dan etnis merupakan
variabel-varabel yang dapat memengaruhi keberhasilan pengajaran bahasa dalam
masyarakat yang multilingual, multirasial, dan multicultural (2004: 205).
Proses
belajar mengajar bahasa memiliki sejumlah variabel, baik yang bersifat
linguistik maupun yang bersifat non linguistik, yang dapat menentukan
keberhasilan proses belajar mengajar itu. Variabel-variabel tersebut tidak
dapat berdiri sendiri, namun saling terkait, saling berhubungan satu sama lain.
Variabel pembelajaran bahasa diantaranya sebagai berikut:
- Peserta didik
-
Proses Belajar Mengajar Bahasa
- Bahan pelajaran
- Tujuan pengajaran
-
Lingkungan Belajar
- Masyarakat tempat siswa tinggal
- Lingkungan sekolah tempat peserta didik belajar
- Motivasi
- Pengalaman sendiri
-
Asas Psikologis Belajar
- Pemecahan masalah
- Berpikir analisis-sintesis
- Perbedaan individual
- Mudah menuju sukar
- Sederhana menuju kompleks
-
Asas Metodik Belajar
- Pola menuju unsur
- Penggunaan menuju pengetahuan
- Masalah bukan kebiasaan
- Kenyataan bukan buatan.
Di Indonesia pada umumnya bahasa
Indonesia adalah bahasa kedua (yang secara politis juga berstatus sebagai
bahasa nasional dan bahasa resmi kenegaraan). Pengajaran bahasa kedua tentu
akan menimbulkan masalah-masalah sosiolinguistik. Masalah ini mungkin tidak
terlalu berat jika saja bahasa kedua yang dipelajari tersebut masih tergolong
dalam bahasa serumpun tapi akan menjadi masalah berat bila bahasa kedua
tersebut tidak serumpun dengan bahasa pertama. Karena itu masalah yang muncul
dalam pengajaran bahasa kedua tersebut akan meliputi semua aspek tataran
bahasa.
Seharusnya,
pengajaran bahasa kedua di Indonesia secara formal dimulai ketika anak memasuki
sekolah dasar (sekitar 6 tahun) untuk bahasa nasional, dan ketika anak memasuki
sekolah menengah (sekitar 12 tahun)
untuk bahasa asing. Menurut Pei (dalam Chaer, 2004: 216) anak-anak pada usia 5 tahun telah dapat
menguasai pola bahasa pertamanya, betapa pun pola bahasa itu sangat ruwet bagi
orang asing. Ketika anak Indonesia (yang bahasa pertamanya adalah bahasa
daerah) mulai mempelajari bahasa Indonesia mereka sudah terbiasa dengan
pola-pola bahasa pertamanya. Kebiasaan dengan pola bahasa pertama itu akan
menjadi kendala apabila mereka mempelajari bahasa Indonesia. Pola-pola bahasa
pertama yang selama ini selalu digunakan akan terbawa masuk ketika mereka
berbahasa Indonesia. Sebagai suatu peristiwa sosiolinguistik yang disebut
sebagai interferensi.
Sebagai contoh berikut ini akan
disajikan suatu problem yang dihadapi anak-anak yang berbahasa pertama bahasa
Jawa dalam belajar bahasa Indonesia. Sebagaimana anak Indonesia lainnya,
anak-anak Jawa pun mulai memasuki pendidikan formal di sekolah dasar ketika
mereka berusia 6 atau 7 tahun, saat dimana mereka telah menguasai dengan baik
pola bahasa pertama mereka bahasa Jawa. Perbedaan ini menjadi penghambat dalam
proses belajar bahasa Indonesia, baik dalam bidang fonologi, morfologi,
sintaksis, mapun leksikon. Dalam bidang fonologi, bahasa Jawa memiliki ciri
khas memanjangkan bunyi, kurang lugas sebagaimana bahasa Indonesia. Selain itu
terkadang dalam bahasa Jawa terdapat perubahan bunyi huruf “I” ke huruf yang
hampir menyerupai bunyi huruf “e” Contoh:
Tidak tahu dilafalkan [tidakk
ta↑hu↓]
Kipas angin dilafalkan [kipas
angen]
Dalam bidang morfologi anak-anak
Jawa juga sering melakukan kesalahan berbahasa Indonesia akibat pengaruh sistem
morfologi bahasa Jawa. Contoh:
(1) Orang
itu ketiduran seharusnya
Orang itu tertidur
(2) Kelupaan
namamu seharusnya Terlupa
namamu
Kata ketiduran pada kalimat
(1) terjadi karena dalam bahasa Jawa ada bentuk keturon dalam arti
‘tertidur’. Sedangkan kata kelupaan pada kalimat (2) terjadi karena
dalam bahasa Jawa ada bentuk kelalen dalam artian ‘terlupa’.
Menurut Broto (1980) kesukaran dalam
mempelajari bahasa kedua dapat diatasi dengan menggunakan pendekatan linguistik
kontrastif. Artinya diadakan perbandingan pola antara bahasa kedua yang
diajarkan dengan bahasa pertama peserta didik. Penguasaan bahasa dibentuk dari
suatu kebiasaan. Oleh karena itu untuk dapat menguasai bahasa kedua maka jalan
yang paling tepat adalah dengan latihan terus-menerus, tanpa henti, sehingga
pada suatu saat akan terbentuk kebiasaan seperti yang telah terjadi ketika mempelajari
bahasa pertama. Memang jarang orang yang dapat menguasai bahasa kedua sama
persis dengan penguasaan terhadap bahasa pertama. Namun tetap diperlukan usaha
optimal apabila ingin mempelajari bahasa kedua dengan baik.
Jika pemerolehan bahasa kedua saja
cukup memiliki banyak kesulitan akibat pengaruh bahasa pertama, lalu bagaimana
pula dengan proses penguasaan ketiga? Keempat? Kelima? Kesuliatan mengkin akan
bertambah, sebab pada diri peserta didik telah tertanam dua pola bahasa (bahasa
ibu dan bahasa Indonesia), lalu kini harus mempelajari bahasa ketiga yang
mungin memiliki banyak perbedaan pola bahasa pada semua tatarannya. Bahasa
ketiga bagi orang Indonesia adalah bahasa Inggris. Kode bahasa Inggris pada
semua tataran memang banyak memiliki pola perbedaan dengan bahasa Indonesia. Kesulitan
dalam mempelajari bahasa kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya akan bertambah
lagi mengingat perbedaan latar belakang budaya masyarakat. Untuk memudahkan
peserta didik memelajari bahasa kedua dapat mengikuti saran Allen (dalam
Richard, 2008: 76) bagaimana cara menjadi guru efektif, yaitu dengan:
- Menyederhanakan bahasa mereka, menggunakan gerakan tubuh, dan mengaitkan pembicaraan dengan sebuah konteks yang kuat.
- Membuat bahasa mudah dipahami dengan selalu ingat akan kebutuhan khusus pelajar.
- Menggunakan bahasa asli dengan bijaksana, bilamana perlu.
Sebagai kesimpulan dalam mempelajari
bahasa kedua (ketiga, keempat, dst), perlu diperhatikan perbedaan-perbedaan
pola yang terdapat antara bahasa pertama yang telah dikuasai, dengan pola
bahasa yang dipelajari begitu juga latar belakang budaya yang perlu
dipertimbangkan. Bukan tugas mudah untuk memelajari bahasa kedua. Bukan sekadar
mengetahui fonologinya (pelafalannya), morfologinya (pembentukan katanya),
sintaksisnya (tata bahasanya), dan leksikonnya (perbendaharaan katanya).
Penutur bahasa itu juga harus memiliki kompetensi komunikatif yang meliputi
pemahaman tentang mengorganisasi pembicaraan dengan tingkat yang lebih tinggi
daripada sekadar kalimat tunggal; mengetahui norma-norma penggunaan bahasa yang
sesuai dengan peran, status sosial dan berbagai macam situasi yang berbeda, dan
yang terakhir, tahu bagaimana cara menggunakan bahasa untuk memperoleh
pengetahuan akademis (profisiensi bahasa kognitf-akademis).
RECOMMENDED
LITERATURE
v Arends,
Richard. I. 2008. Learning to Teach. New York: McGraw Hill Companies.
v Brown,
H. Douglas. 2007. Principles of Language Learning and Teaching. New
York: Pearson Longman.
v Chaer, Abdul. dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik.
Jakarta: Rineka Cipta.
v Hargenhahn.
B.R. and Matthew H. Olson. 2008. Theories of Learning.
v Nurgiyantoro, Burhan. 2001. Penilaian dalam
Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: BPFE.
v Searle, John. R. 1997. Speech Acts. New
York: Cambridge University Press.
v Tarigan, Henry Guntur. 1992. Bandung: Angkasa.
1 komentar:
thanks gan,, bermanfaat...bacaan sebelum uts..hehe
Posting Komentar