Kamis, 17 November 2011

Questions About Second Language Acquisition (SLA)


LANGUAGE, LEARNING, AND TEACHING
Questions About Second Language Acquisition

Oleh: Husnul Hamidiyah


1. Filosofi Linguistik dan Bahasa
            Bagaimana kata-kata dapat terhubung dengan dunia??? Ya, dengan bahasa. Segala hal di dunia diungkapkan dengan bahasa. Bahasa adalah komunikasi yang dapat menghubungkan antara penutur dan petutur dalam interaksi sosialnya. Cara penyampaian itu penting. Dimana letak perbedaan antara mengatakan sesuatu dengan memiliki maksud atau tujuan, dan mengatakan sesuatu tanpa memiliki maksud atau tujuan? Misalkan frase/ kalimat “3x4” diucapkan oleh guru pada siswa sekolah dasar, maka para siswa akan serempak menjawab “12”. Namun coba bandingkan apabila frase/ kalimat “3x4” diucapkan oleh tukang foto di studio foto, maka aka nada jawabat “Rp. 500,-“ untuk menjawab frase/kalimat tersebut.
            Pembelajar bahasa perlu mengetahui perbedaan antara filsafat bahasa dan filsafat linguistik. Searle (1997: 3) membedakan kedua unsur bahasa tersebut. Menurutnya filosofi linguistik adalah usaha untuk memecahkan persoalan rincian filosofis dengan memperhatikan kebiasaan penggunaan dari kata-kata yang terperinci atau elemen lainnya dari bahasa yang terperinci seperti fonologi, sintaksis, dan semantik. Filosofi linguistik nama primer suatu metode sedangkan filosofi bahasa adalah nama sutu subjek. Filsafat bahasa adalah suatu usaha untuk deskripsi penerangan secara filosofis gambaran umum tertentu bahasa seperti referensi, kebenaran, makna, dan kebutuhan.

2. Teori Pemerolehan Bahasa (Language Acquisition Theory)
            Teori pemerolehan bahasa berdasarkan psikologi Behaviorisme yaitu:
  1. Kebiasaan Berbahasa (Language Habit)
  2. Kesalahan Berbahasa (Language Error) (James, 1986: 20)
Kebiasaan memiliki dua karakteristik utama. Pertama, kebiasaan itu dapat diamati atau “observable”, bila berupa benda dapat diraba, dan bila berupa aktivitas dapat dilihat. Kedua, kebiasaan itu bersifat mekanistis atau otomatis. Kebiasaan itu terjadi secara spontan tanpa disadari dan sangat sukar dihilangkan kecuali jika lingkungannya berubah. Perubahan itu mengarah kepada penghilangan stimulus yang membangkitkannya walaupun teori pembentukan kebiasaan (habit formation) itu bersifat umum, namun aplikasinya juga digunakan dalam pengajaran bahasa. Di dalam PB 1 (pemerolehan bahasa pertama), anak-anak memeroleh bahasa ibunya melalui peniruan. Peniruan itu biasanya diikuti oleh pujian atau perbaikan. Melalui kegiatan itulah anak-anak mengembangkan pengetahuannya tentang strukur, pola kebiasaan bahasa ibunya. Melalui peniruan dan penguatan, para peserta didik mengidentifikasi hubungan antara stimulus dan response yang merupakan kebiasaan dalam berbahasa kedua.
Tarigan menyatakan bahwa kesalahan berbahasa terjadi karena transfer negative, yaitu perbedaan sistem B1 (bahasa ibu) dan B2 (Bahasa kedua). Kesalahan berbahasa dapat dihilangkan dengan cara menanamkan kebiasaan ber-B2 melalui latihan, pengulangan, dan penguatan baik berupa hadiah maupun hukuman (1992:4)
Proses pemerolehan dan penguasaan bahasa anak-anak merupakan satu perkara yang cukup menakjubkan bagi para peneliti dalam bidang linguisik. Memang diakui sadar ataupun tidak, sistem-sistem linguistik dikuasai dengan baik oleh individu anak-anak walaupun umumnya tidak dalam pengajaran formal. “…learning a first language is something every child does successfully, in a matter of a few years and without the  need for formal lessons.” (Language Acquisition: On-line).
Kajian  saintifik dalam bidang pemerolehan bahasa  telah dimulai sejak abad ke-16 (Zulkifly, 1990:326). Kajian ini diawali oleh Tiedemann, seorang ahli biologi berkebangsaan Jerman pada  tahun 1787.  Charles  Darwin, penggagas teori evolusi turut menjalankan kajian dalam bidang pemerolehan bahasa  pada   tahun 1877. Kajian-kajian yang seterusnya telah dilakukan oleh Preyer pada tahun 1882 dan kajian Sally pada tahun 1885. Selepas kajian-kajian perintis ini terdapat banyak kajian lain lagi yang mengkaji bahan-bahan dan subjek-subjek yang berbeda untuk melihat aspek yang   terkait  pemerolehan sistem-sistem bahasa.
Pemerolehan bahasa merupakan satu proses perkembangan bahasa manusia. Lazimnya  pemerolehan  bahasa   pertama dikaitkan dengan perkembangan bahasa anak-anak ketika pemerolehan bahasa kedua bertumpu kepada perkembangan bahasa orang dewasa   (Language   Acquisition:   On-line).   Perkembangan bahasa anak-anak berasal dari bahasa ibu. Namun terdapat juga pandangan lain yang mengatakan bahawa terdapat dua proses yang   terlibat  dalam  pemerolehan bahasa di kalangan anak-anak yaitu pemerolehan bahasa dan   pembelajaran  bahasa.  Dua faktor utama yang sering dikaitkan dengan pemerolehan bahasa   ialah faktor  nurture dan nature.
Piaget mengatakan bahwa semua anak-anak sejak lahir telah dilengkapi dengan alat nurani yang berbentuk mekanisme umum untuk semua kemampuan manusia termasuk kemampuan berbahasa. Alat mekanisme kognitif yang bersifat umum inilah yang digunakan untuk menguasai segala bidang termasuk bidang bahasa. Bagi Chomsky dan Miller,alat yang  khusus ini dikenali sebagai Language Acquisition Device (LAD) yang fungsinya sama seperti yang pernah dikemukakan oleh Lenneberg yang dikenal sebagai “Innate Prospensity for Language”. LAD dikatakan telah dimiliki oleh setiap anak secara alami. Alat ini akan memungkinkan anak-anak mampu memperoleh bahasa ibunya dengan mudah dan cepat.   
           
3.    Pengajaran Sastra
            Pengajaran sastra di sekolah adalah bagian dari mata pelajaran bahasa. Seorang guru bahasa juga merupakan guru apresiasi sastra. Penggabungan antara pengajaran sastra dan bahasa memang wajar dan bisa dimengerti karena bahasa merupakan salah satu unsur bentuk sastra yang sangat penting. Bahkan secara fisik wujud sastra yaitu bahasa. Sastra merupakan karya seni yang memediakan bahasa yang unsur-unsur keindahannya ditonjolkan. Nurgiyantoro menyatakan bahwa memahami karya sastra merupakan salah satu cara atau langkah dalam usaha mengapresiasi karya sastra, penguasaan terhadap bahasa yang bersangkutan merupakan suatu hal yang tak dapat ditawar (2001: 319). Kendati demikian, penguasaan bahasa (konvensi bahasa dan kode bahasa) saja tidak cukup untuk memahami dengan baik suatu karya sastra, diperlukan juga pengetahuan tentang kode sastra dan kode budaya.
            Tugas pengajar adalah mengajar, membimbing, dan melatih peserta didik untuk mengapresiasi sastra dengan bekal penguasaan bahasa demi menunjang penguasaan kode bahasa yang dibutuhkan dalam pemahaman karya sastra. Sehingga tidak terjadi kesenjangan antara pokok bahasan kebahasaan di satu pihak dengan pokok bahasan sastra di pihak lain. Realitanya terdapat benang merah antara pengajaran bahasa dan sastra yang bersifat saling menunjang. Dalam pemerolehan bahasa misalnya, ketika seseorang berusaha memahami suatu karya sastra yang berasal dari bahasa asing. Maka dia terlebih dahulu harus menguasai kode bahasa dan konvensi bahasa yang dimiliki oleh bahasa asing yang merupakan bahasa kedua, ketiga, keempat, dst di luar bahasa ibunya. Oleh karena itu penguasaan bahasa dapat menyeimbangkan kemampuan seseorang dalam mengapresiasi suatu karya sastra.

4. Pertanyaan tentang Pemerolehan Bahasa (Questions about 2nd Language Acquisition)
            Krashen (dalam Cox, 1996) mengisyaratkan ketika belajar bahasa kedua peserta didik juga harus belajar tentang budaya yang terkait dengan bahasa yang dipelajarinya. Chaer juga menuturkan bahwa faktor kebahasaan, kebudayaan, sosial, dan etnis merupakan variabel-varabel yang dapat memengaruhi keberhasilan pengajaran bahasa dalam masyarakat yang multilingual, multirasial, dan multicultural (2004: 205).
            Proses belajar mengajar bahasa memiliki sejumlah variabel, baik yang bersifat linguistik maupun yang bersifat non linguistik, yang dapat menentukan keberhasilan proses belajar mengajar itu. Variabel-variabel tersebut tidak dapat berdiri sendiri, namun saling terkait, saling berhubungan satu sama lain. Variabel pembelajaran bahasa diantaranya sebagai berikut:

  1. Peserta didik
  2. Proses Belajar Mengajar Bahasa
     
    Guru
  3. Bahan pelajaran
  4. Tujuan pengajaran
  5. Lingkungan Belajar
     
    Lingkungan keluarga
  6. Masyarakat tempat siswa tinggal
  7. Lingkungan sekolah tempat peserta didik belajar
  8. Motivasi
  9. Pengalaman sendiri
  10. Asas Psikologis Belajar
     
    Keingintahuan
  11. Pemecahan masalah
  12. Berpikir analisis-sintesis
  13. Perbedaan individual
  14. Mudah menuju sukar
  15. Sederhana menuju kompleks
  16. Asas Metodik Belajar
     
    Dekat menuju jauh
  17. Pola menuju unsur
  18. Penggunaan menuju pengetahuan
  19. Masalah bukan kebiasaan
  20. Kenyataan bukan buatan.
           
            Di Indonesia pada umumnya bahasa Indonesia adalah bahasa kedua (yang secara politis juga berstatus sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi kenegaraan). Pengajaran bahasa kedua tentu akan menimbulkan masalah-masalah sosiolinguistik. Masalah ini mungkin tidak terlalu berat jika saja bahasa kedua yang dipelajari tersebut masih tergolong dalam bahasa serumpun tapi akan menjadi masalah berat bila bahasa kedua tersebut tidak serumpun dengan bahasa pertama. Karena itu masalah yang muncul dalam pengajaran bahasa kedua tersebut akan meliputi semua aspek tataran bahasa.
           
Seharusnya, pengajaran bahasa kedua di Indonesia secara formal dimulai ketika anak memasuki sekolah dasar (sekitar 6 tahun) untuk bahasa nasional, dan ketika anak memasuki sekolah menengah (sekitar 12 tahun)  untuk bahasa asing. Menurut Pei (dalam Chaer, 2004: 216)  anak-anak pada usia 5 tahun telah dapat menguasai pola bahasa pertamanya, betapa pun pola bahasa itu sangat ruwet bagi orang asing. Ketika anak Indonesia (yang bahasa pertamanya adalah bahasa daerah) mulai mempelajari bahasa Indonesia mereka sudah terbiasa dengan pola-pola bahasa pertamanya. Kebiasaan dengan pola bahasa pertama itu akan menjadi kendala apabila mereka mempelajari bahasa Indonesia. Pola-pola bahasa pertama yang selama ini selalu digunakan akan terbawa masuk ketika mereka berbahasa Indonesia. Sebagai suatu peristiwa sosiolinguistik yang disebut sebagai interferensi.
            Sebagai contoh berikut ini akan disajikan suatu problem yang dihadapi anak-anak yang berbahasa pertama bahasa Jawa dalam belajar bahasa Indonesia. Sebagaimana anak Indonesia lainnya, anak-anak Jawa pun mulai memasuki pendidikan formal di sekolah dasar ketika mereka berusia 6 atau 7 tahun, saat dimana mereka telah menguasai dengan baik pola bahasa pertama mereka bahasa Jawa. Perbedaan ini menjadi penghambat dalam proses belajar bahasa Indonesia, baik dalam bidang fonologi, morfologi, sintaksis, mapun leksikon. Dalam bidang fonologi, bahasa Jawa memiliki ciri khas memanjangkan bunyi, kurang lugas sebagaimana bahasa Indonesia. Selain itu terkadang dalam bahasa Jawa terdapat perubahan bunyi huruf “I” ke huruf yang hampir menyerupai bunyi huruf “e” Contoh:
            Tidak tahu                   dilafalkan                    [tidakk ta↑hu↓]
            Kipas angin                  dilafalkan                    [kipas angen]
           
            Dalam bidang morfologi anak-anak Jawa juga sering melakukan kesalahan berbahasa Indonesia akibat pengaruh sistem morfologi bahasa Jawa. Contoh:
(1)   Orang itu ketiduran                                    seharusnya                   Orang itu tertidur
(2)   Kelupaan namamu                                    seharusnya                   Terlupa namamu
            Kata ketiduran pada kalimat (1) terjadi karena dalam bahasa Jawa ada bentuk keturon dalam arti ‘tertidur’. Sedangkan kata kelupaan pada kalimat (2) terjadi karena dalam bahasa Jawa ada bentuk kelalen dalam artian ‘terlupa’.
           
            Menurut Broto (1980) kesukaran dalam mempelajari bahasa kedua dapat diatasi dengan menggunakan pendekatan linguistik kontrastif. Artinya diadakan perbandingan pola antara bahasa kedua yang diajarkan dengan bahasa pertama peserta didik. Penguasaan bahasa dibentuk dari suatu kebiasaan. Oleh karena itu untuk dapat menguasai bahasa kedua maka jalan yang paling tepat adalah dengan latihan terus-menerus, tanpa henti, sehingga pada suatu saat akan terbentuk kebiasaan seperti yang telah terjadi ketika mempelajari bahasa pertama. Memang jarang orang yang dapat menguasai bahasa kedua sama persis dengan penguasaan terhadap bahasa pertama. Namun tetap diperlukan usaha optimal apabila ingin mempelajari bahasa kedua dengan baik.
            Jika pemerolehan bahasa kedua saja cukup memiliki banyak kesulitan akibat pengaruh bahasa pertama, lalu bagaimana pula dengan proses penguasaan ketiga? Keempat? Kelima? Kesuliatan mengkin akan bertambah, sebab pada diri peserta didik telah tertanam dua pola bahasa (bahasa ibu dan bahasa Indonesia), lalu kini harus mempelajari bahasa ketiga yang mungin memiliki banyak perbedaan pola bahasa pada semua tatarannya. Bahasa ketiga bagi orang Indonesia adalah bahasa Inggris. Kode bahasa Inggris pada semua tataran memang banyak memiliki pola perbedaan dengan bahasa Indonesia. Kesulitan dalam mempelajari bahasa kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya akan bertambah lagi mengingat perbedaan latar belakang budaya masyarakat. Untuk memudahkan peserta didik memelajari bahasa kedua dapat mengikuti saran Allen (dalam Richard, 2008: 76) bagaimana cara menjadi guru efektif, yaitu dengan:
  1. Menyederhanakan bahasa mereka, menggunakan gerakan tubuh, dan mengaitkan pembicaraan dengan sebuah konteks yang kuat.
  2. Membuat bahasa mudah dipahami dengan selalu ingat akan kebutuhan khusus pelajar.
  3. Menggunakan bahasa asli dengan bijaksana, bilamana perlu.
            Sebagai kesimpulan dalam mempelajari bahasa kedua (ketiga, keempat, dst), perlu diperhatikan perbedaan-perbedaan pola yang terdapat antara bahasa pertama yang telah dikuasai, dengan pola bahasa yang dipelajari begitu juga latar belakang budaya yang perlu dipertimbangkan. Bukan tugas mudah untuk memelajari bahasa kedua. Bukan sekadar mengetahui fonologinya (pelafalannya), morfologinya (pembentukan katanya), sintaksisnya (tata bahasanya), dan leksikonnya (perbendaharaan katanya). Penutur bahasa itu juga harus memiliki kompetensi komunikatif yang meliputi pemahaman tentang mengorganisasi pembicaraan dengan tingkat yang lebih tinggi daripada sekadar kalimat tunggal; mengetahui norma-norma penggunaan bahasa yang sesuai dengan peran, status sosial dan berbagai macam situasi yang berbeda, dan yang terakhir, tahu bagaimana cara menggunakan bahasa untuk memperoleh pengetahuan akademis (profisiensi bahasa kognitf-akademis).

RECOMMENDED LITERATURE
v  Arends, Richard. I. 2008. Learning to Teach. New York: McGraw Hill Companies.
v  Brown, H. Douglas. 2007. Principles of Language Learning and Teaching. New York: Pearson Longman.
v   Chaer, Abdul. dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.
v   Hargenhahn.  B.R. and Matthew H. Olson. 2008. Theories of Learning.
v   Nurgiyantoro, Burhan. 2001. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: BPFE.
v   Searle, John. R. 1997. Speech Acts. New York: Cambridge University Press.
v   Tarigan, Henry Guntur. 1992. Bandung: Angkasa.

1 komentar:

rival mengatakan...

thanks gan,, bermanfaat...bacaan sebelum uts..hehe